
sopir truk melakukan aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Over Dimension Over Loading (RUU ODOL) secara serentak di sejumlah daerah pada Kamis (19/6/2025).
Para sopir truk tersebut turun ke jalan sambil memarkirkan kendaraan besar mereka di sejumlah titik seperti di Bandung, Trenggalek, hingga Surabaya. Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dinilai tidak adil dan menyengsarakan sopir.
Farid Hidayah, dari anggota Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT) mengatakan, pihaknya sama sekali tidak menentang dengan kebijakan truk ODOL. Hanya saja kebijakan itu terlalu terburu-buru sehingga bisa menempatkan mereka di posisi yang sulit.
“Saya kemarin jadi salah satu peserta aksi menyampaikan pendapat di bawah komando GSJT. Saya ikut hadir dalam aksi di Jawa Timur, di Surabaya. Hal ini berawal dari UUD Zero ODOL yang dianggap terburu-buru diterapkan apalagi dilakukan penindakan. Karena menurut kami para sopir, sebenarnya sangat sepakat, sangat setuju, sangat sependapat dengan penerapan Zero ODOL ini,” kata Farid kepada Kompas.com, Jumat (20/5/2025).
Farid menjelaskan, sopir truk tentunya senang dengan adanya regulasi Zero ODOL. Sebab nanti muatannya jadi ringan yang secara teknis di dalam perjalanan saat mengirim barang menuju ke tempat tujuan hambatannya sudah tidak banyak.
Selain itu, ban juga tidak panas, tidak pecah, tidak kempes karena muatannya memang ringan. Di satu sisi, ketika tarif ongkos kirim itu tidak sesuai, itulah yang membuat truk ODOL itu sampai saat ini masih tetap ada dan semakin banyak.
“Penerapan dan penindakan Zero ODOL itu sangat terburu-buru tanpa melalui kajian, tanpa melalui evaluasi yang menyeluruh. Sebab, benang kusut yang ada di bawah akar rumput ini harus betul-betul diurai dulu, baru diterapkan regulasi Zero ODOL,” katanya.
Dirinya menjelaskan, fenomena truk ODOL ini terjadi lantaran ada peran perputaran ekonomi yang sangat penting.
Sebab menurutnya ketika truk ODOL itu ditiadakan, kemudian tidak ada kajian-kajian yang mengatur tarif ongkos kirim, masyarakat yang merasakan dampaknya. Sebab semua bahan kebutuhan (muatan yang diangkut truk) harganya akan naik.

“Kami tidak menolak penerapan Undang-Undang Zero ODOL. Namun, yang perlu kami garis bawahi, selama tarif ongkos kirim itu sesuai, artinya tuntutan utama kami itu adalah adanya regulasi yang mengatur tarif ongkos kirim,” katanya.
Maka dari itu Farid berharap lewat aksi ini bisa mengajak untuk Kementerian Perhubungan, Menko Infrastruktur dan Pembangunan Agus Harimurti Yudhoyono dan DPR RI yang mengeluarkan regulasi itu duduk bersama.
Dan mengkaji atau evaluasi ulang regulasi tersebut dengan turun mencari tahu ke akar rumput yang paling dasar. Sehingga, tidak melahirkan regulasi yang sangat mencekik bagi para sopir truk.