
Demonstrasi sopir truk terkait aturan zero over dimension overload (ODOL) akan terus berlanjut di kota lain, salah satunya di Jakarta pada 2 Juli 2025.
Farid Hidayah, anggota Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT), mengatakan bahwa dengan ditiadakannya truk ODOL, harga komoditas di pasaran akan melambung.
“Sebenarnya kami tidak menolak Zero ODOL. Kami sepakat, sependapat, dan senang ketika memang itu betul-betul diterapkan, tetapi dengan tahapan-tahapan yang benar-benar tidak saling merugikan para pihak. Di sini, pihak pengusaha juga perlu kita pikirkan, apakah mereka mampu menjual produknya ketika ongkos kirimnya besar dan barang yang dibawa volumenya semakin sedikit,” katanya kepada Kompas.com, Jumat (20/6/2025).
Farid menjelaskan bahwa dalam regulasi Zero ODOL, hanya diperbolehkan mengangkut muatan 4 ton untuk golongan truk sedang.
Namun, selama ini para sopir truk bisa memuat sampai 15 ton, sehingga terciptalah truk ODOL.
Sebagai contoh, saat mengangkut beras, dihargai Rp 400 ribu per ton.

Jika bisa memuat 15 ton, sopir sudah mendapatkan Rp 6 juta untuk ongkos kirim.
“Kami sudah sadar bahwa itu melanggar undang-undang Zero ODOL, tetapi itu kami lakukan untuk memenuhi biaya operasional. Rp 6 juta itu kami bisa memenuhi segala kebutuhan biaya operasional seperti kapal Rp 2.150.000, BBM mungkin Rp 700.000, makan dan lainnya, setoran truk, dan bila ada sisa, itu hasil yang kami bawa pulang untuk keluarga,” katanya.
Namun, bila nantinya muatan hanya diperbolehkan 4 ton, menurut Farid, harga kebutuhan pokok akan meningkat.
Meski muatannya lebih sedikit, sopir tetap akan meminta ongkos kirim Rp 6 juta.
Hal ini yang membuat harga komoditas akan melambung di pasaran.
“Kami muat beras hanya 4 ton, ongkosnya kami tetap minta Rp 6 juta, tentu berasnya jadi mahal. Makanya bisa kami simpulkan bahwa truk ODOL adalah salah satu yang menyebabkan perekonomian atau daya beli masyarakat tetap stabil di pasaran,” katanya.