
Memang dalam Pasal 184 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), ditulis kalau penentuan tarif angkut berdasarkan kesepakatan.
Tetapi, kata “kesepakatan” ini yang membuat para pengusaha truk saling perang harga. Menawarkan tarif murah tapi bisa muat banyak dan mengabaikan keselamatan.

Djoko Setijoawrno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, mengatakan, dulu sebelum UU berlaku, ada tarif batas atas dan bawah untuk angkutan barang.
“Dulu itu pernah ada, sebelum UU berlaku. Karena berdasarkan kesepakatan, untuk apa (ada tarif batas atas dan bawah). Dia mau sekian (tarif dan berat), enggak mau ya sudah,” kata Djoko kepada Kompas.com belum lama ini.
Misal dari yang tadinya baran gsatu ton diberi tarif Rp 400.000, lama-lama turun sendiri. Efeknya, pengusaha terus menurunkan tarif sampai dapat kesepakatan dengan pemilik barang.
“Contoh lagi, dulu air miner diangkut dari Sukabumi ke Jakarta pakai kereta, malam hari. Tiba-tiba pengusaha truk bilang, lewat darat saja, murah. Memang bisa murah juga karena ODOL, akhirnya tidak lagi pakai kereta,” kata Djoko.
Makanya dari situ, tidak kunjung selesai masalah ODOL ini. Perlu adanya ketegasan, dari revisi UU sampai penindakan ke pemilik barang.