
Padahal, sudah beberapa tahun terakhir, pemerintah terus menjalankan program untuk mengatasi ODOL atau Zero ODOL.
Walaupun ada program tersebut, truk ODOL masih saja berkeliaran di jalan raya.

Penindakan di jalanan tampaknya tidak memberikan dampak yang signifikan, dan pelaku ODOL terus ada.
Menurut Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, salah satu cara untuk mengurangi pelaku ODOL adalah dengan merevisi Pasal 184 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Tahun 2009.
Pasal 184 berisi tentang penetapan tarif angkutan barang.
Hal yang perlu direvisi adalah kata “kesepakatan”, yang berpotensi menyebabkan perang tarif antara pemilik dan pengusaha truk.
“Kata kesepakatan itu yang membahayakan. Karena yang terjadi sekarang adalah perang tarif. Ongkos sekian, kalau tidak mau ya sudah, nanti sopirnya siap apa enggak,” kata Djoko kepada Kompas.com, belum lama ini.
Dampaknya, pengusaha bisa menurunkan tarif serendah mungkin, dan pengusaha truk terpaksa ikut.
Total muatan yang bisa dibawa juga ikut diadu, sehingga truk ODOL terus ada.
“Perang tarif boleh, tetapi kita harus punya standar upah. Contoh TransJakarta, operator banyak tetapi tarif sopir sudah dikunci, di truk enggak ada. Ini jadi persoalan, akhirnya murah-murahan,” kata Djoko.
Oleh karena itu, Kementerian Tenaga Ketenagakerjaan harus menetapkan standar upah sopir dan jam kerja.
Begitu juga, tarif angkutan harus memiliki standar agar tidak terjadi perang harga yang berlebihan.